Kamis, 13 Januari 2011

Pejabat Publik dan Etika Publik


Pejabat publik di negeri ini memang sering salah kaprah. Mereka mengartikan etika publik sebagai kaidah atau norma tertentu yang harus dipatuhi masyarakat. Oleh karena itu, mereka beranggapan bahwa fungsi pejabat publik adalah menyusun kebijakan yang mengatur moral masyarakat. Pemahaman yang salah ini kemudian berdampak pada penerbitan surat keputusan, undang-undang, atau peraturan daerah yang mengatur moralitas masyarakat.

Apakah tanggung jawab pejabat publik memang memperkuat moralitas di ruang publik? Moralitas kelompok manakah yang diperkuat dan dibela? Patutkah pejabat publik membela moralitas kelompok tertentu?

Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan persoalan etika publik untuk memastikan adanya tanggung jawab pejabat publik.

Amanah publik

Seorang pejabat atau politisi selalu berdalih bahwa mereka memutuskan untuk ”kebaikan” masyarakat. Ukuran kebaikan bersumber dari pemahaman agama, budaya, dan tradisi sang pejabat. Karena itu menjadi tujuan hidup mereka, harus pula menjadi tujuan hidup semua masyarakat. Tidak mengherankan jika tujuan hidup diri pejabat sebagai individu menjadi patokan memutuskan kebijakan negara.

Padahal, seorang pejabat atau politisi adalah pengemban amanah publik yang tidak boleh mempromosikan ”kebaikan” (prinsip-prinsip regulatif) yang hanya berlaku untuk diri sendiri dan tidak berlaku secara umum.

Misalnya, seorang pejabat publik yang secara personal tidak menyetujui gerakan homoseksual di Indonesia tidak boleh membiarkan kekerasan terjadi pada kelompok ini atau mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang dapat memicu kekerasan. Pejabat publik mendapat mandat untuk melindungi semua golongan, termasuk minoritas.

Dengan kata lain, seorang pejabat publik tidak bekerja untuk mempromosikan apa yang ia anggap ”kebaikan”, tetapi ia bekerja untuk keadilan. Ia harus memastikan bahwa hak-hak setiap individu tidak dilanggar atau diabaikan dan semua golongan memiliki akses untuk mencapai keadilan. Dengan demikian, pejabat bekerja untuk ”hak” rakyat. Ia harus mampu melepaskan diri dari prinsip ”kebaikan” yang dianut kelompok-kelompok tertentu atau aliran tertentu.

Meski demikian, pejabat publik yang membuat keputusan atas dasar kerangka kerja ”hak” juga masih menyisakan persoalan. Misalnya, apakah basis dari kerangka kerja ”hak”?

Apa yang dituntut dari seorang pemimpin adalah memiliki keadilan untuk semua golongan dan dapat bersikap netral dalam menentukan kebijakan. Ini hanya bisa terlaksana apabila orang sungguh-sungguh bisa memutuskan sebuah kebijakan atas dasar kehendak yang otonom.

Pemimpin juga harus merumuskan kesubyekannya sebagai yang mandiri dan tidak dijadikan obyek atau instrumen dari kepentingan kelompoknya. Hanya dengan kemandirian untuk bersikap, keadilan untuk semua golongan akan tercapai. Kesimpulannya, hakikat dari seorang pemimpin adalah menjadi pemimpin untuk semua.

Akal sehat

Seorang pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk mengedepankan nilai-nilai politis dan perlu memisahkan identitas politiknya dari identitas personal. Pada masyarakat yang demokratis, banyak kelompok yang saling bertentangan tentang apa yang dianggap sebagai kehidupan yang baik. Oleh sebab itu, memberi tanda kurung bagi keyakinan moral dan agama diperlukan apabila ingin menjaga kerja sama sosial atas dasar saling menghormati.

Dengan memberi tanda kurung, nilai-nilai politis seperti toleransi, keadilan, dan kerja sama sosial dapat mengemuka dalam kepemimpinan dan produk kebijakan seorang pejabat publik. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang tidak adil, seperti pemerataan pembangunan ataupun pembiaran kekerasan terhadap kelompok suku atau pun agama tertentu tidak akan terjadi.

Konsentrasi pada nilai-nilai politik yang menggaris bawahi keadilan juga akan menguatkan hukum dan konstitusi. Peraturan-peraturan daerah yang bertentangan dengan konstitusi senantiasa akan ditolak dan tidak akan mengorbankan kelompok minoritas.

Perda-perda yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan juga akan dengan sendirinya teranulir. Tidak ada lagi pemaksaan untuk memakai jilbab, seperti kasus-kasus di Aceh, di mana para perempuan yang menolak memakai penutup kepala dikejar- kejar oleh polisi syariah. Para pemimpin di Aceh tidak perlu lagi mempermasalahkan perempuan-perempuan yang tidak berjilbab sebab menjadi seorang warga negara Indonesia yang baik bukan dinilai dari memakai jilbab atau tidak, melainkan dari pemenuhan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan hukum negara yang berlaku. Perempuan berjilbab ataupun tidak memiliki hak yang sama.

Nilai-nilai politik yang menjunjung toleransi dan keadilan akan menjaga diskursus yang sehat di masyarakat dan dengan demikian akal sehat publik juga terpelihara. Selanjutnya ucapan-ucapan pejabat publik terus dikontrol oleh akal sehat publik yang tidak akan menolerir ucapan-ucapan yang tidak akuntabel. Akal sehat publik akan menolak setiap ucapan pejabat publik yang diskriminatif dan oleh karena itu pula radar kekritisan menjadi kuat.

Utamakan akuntabilitas

Di dalam masyarakat yang terbiasa menuntut akuntabilitas ucapan-ucapan pejabat publik, tertanam pula tanggung jawab untuk memilih pejabat-pejabat publik yang memiliki kualitas dan bukan semata-mata uang dan selebriti.

Keseluruhan rangkaian kerangka kerja etika publik apabila ditanamkan secara sungguh- sungguh di Tanah Air memastikan pemilu yang akan datang mengunggulkan sosok pejabat publik yang berintegritas. Semoga saja Pemilu 2014 mampu memunculkan calon figur publik yang berintegritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar