Pendidikan di Indonesia sangat memperhatinkan bagaimana tidak, saat ini dunia pendidikan dijadikan ajang bisnis oleh pihak sekolah kejadian seperti bukan hanya terjadi pada tahun ini bahkan sejak lama dengan dalih pemungutan biaya bagi siswa baru dan pada ujungnya orang tua siswa pun dibuat pusing tujuh keliling. Bentuk pungutan kepada siswa baru berragam dari buku paket sampai dengan pakaian seragam. Inikah sosok dunia pendidikan kita ?
dan itu sudah bukan rahasia umum lagi bahwa pungutan tersebut sudah sarat dengan bisnis semata.
Hasil temuan kami di lapangan di salah satu SMA Negeri ternama di Bekasi-Jawa Barat, AS, salah satu siswa baru yang diterima di sekolah tersebut dipulangkan pihak sekolah hanya karena AS belum membayar biaya daftar ulang sebesar Rp 1.225.000. Tapi ternyata otak encernya belum menjadi jaminan bisa bersekolah dengan tenang.
Menurut pihak sekolah AS baru boleh sekolah kalau sudah membayar uang yang sudah ditentukan, kata paman AS ketika melaporkan kejadian yang menimpa keponakannya itu ke Tim Kami. Lebih lanjut Paman AS menceritakan bahwa Seleksi Penerimaan Siswa Baru di sekolah tersebut diprakarsai oleh Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad.
Sebagai buruh kasar di daerah Bekasi paman AS pun sambil menghela napas panjang mengatakan, “Uang sebesar itu dapat dari mana? Saya sendiri saja hanya kerja di bengkel. Paling banter dapat uang Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per hari. Itu pun untuk makan sekeluarga.”
Paman AS itu kini hanya pasrah. Dirinya hanya bisa melempar handuk putih tanda menyerah jika harus dipaksa membayar biaya daftar ulang sebesar Rp 1.225.000. “Ya sudah kalau memang tidak bisa masuk, ya tidak ada-apa. Tapi, jangan dipulangkan seperti itu. Kasihan keponakan saya,” tutur Jiun mengunci ucapannya.
AS selama ini tinggal bersama pamannya di Rawalumbu, Kota Bekasi. Kedua orang tua AS telah lama bercerai dan tidak mau lagi mengurus biaya pendidikannya.
Kejadian yang menimpa AS di Kota Bekasi itu hanya sepenggal cerita sedih dunia pendidikan di negeri ini. Pendiri bangsa ini padahal telah menggariskan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terutama pada Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Namun, sayangnya amanat UUD 1945 itu hanya manis dikumandangkan setiap Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei, tapi kenyataannya di lapangan nol besar.
Para tenaga pendidik hampir pasti hapal di luar kepala jika ditanya soal isi Pasal 31 UUD 1945 tersebut. Tapi, ketika tahun ajaran baru dimulai bunyi pasal tersebut seakan hilang begitu saja karena “musim tuai” telah tiba, melalui penerimaan siswa baru (PSB). Mengalirnya siswa baru ke sekolah menjadi mesin uang yang tiada henti setiap awal tahun ajaran baru muncul. Wujudnya, pungutan demi pungutan pun bermunculan, seakan siap mencekik leher para orang tua siswa. Bentuk pungutan itu beraneka ragam, mulai dari biaya membeli buku paket, uang gedung sekolah, hingga pakaian seragam.
Tragisnya lagi, pungutan bagi siswa baru tersebut (hampir di semua tingkatan: SDN, SMPN, hingga SMAN), jauh sebelum Komisi Sekolah melakukan musyawarah mufakat. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta, Margani Mustar, pihak sekolah padahal tidak dibenarkan menarik pungutan sebelum ada keputusan musyawarah mufakat melalui Komite Sekolah. Ucapan dan kenyataan di lapangan memang berbeda.
Hasil penelusuran SH beberapa waktu lalu menemukan sejumlah sekolah unggulan di Jakarta telah mematok iuran peserta didik baru (IPBD) atau pungutan awal tahun ajaran hingga RP 12,5 juta. Besarnya pungutan itu dipastikan lebih besar ketimbang tahun ajaran sebelumnya.
Tahun ajaran 2007/2008 lalu saja SMAN di Salemba, Jakarta Pusat menarik pungutan awal tahun ajaran mencapai Rp 11 juta. Sebuah SMAN di bilangan Bulungan, Jakarta Selatan tahun 2007 lalu menagih Rp 8 juta kepada setiap siswa barunya. SMAN lainnya yang juga terletak di daerah Bulungan mematok harga Rp 6 juta.
Di wilayah Jakarta Timur, sebut saja sebuah SMAN di bilangan Klender.,Menetapkan biaya pembangunan sebesar Rp 6,2 juta pada tahun 2007. Masih di wilayah Jakarta Timur, tepatnya di sebuah SMAN di bilangan Pondok Bambu, pihak sekolah bersiap-siap mematok pungutan sebesar Rp 10 juta hingga Rp 15 juta bagi siswa barunya.
Aliran Dana
Hingga kini, pihak sekolah memang belum secara terang-terangan mematok besarnya pungutan kepada siswa barunya. Namun, seperti diungkap Ade Irawan dari Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), pungutan secara terang-terangan baru akan dipatok pihak sekolah ketika proses belajar-mengajar berlangsung satu bulan, yakni pada Bulan Agustus atau September 2008.
“Pada saat itu hanya ada dua pilihan bagi orang tua siswa: mau bayar sesuai dengan keinginan pihak sekolah atau anaknya harus angkat kaki dari sekolah,” ungkapnya.
Jika ini yang terjadi maka apa gunanya Bantuan Operasiona Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) yang didengung-dengungkan pemerintah sebagai upaya membantu biaya pendidikan di sekolah-sekolah negeri.
Ataukah munculnya pungutan-pungutan yang ditarik pihak sekolah mengatasnamakan musyawarah mufakat Komite Sekolah ini sengaja dibiarkan pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang pendidikan, lantaran adanya “aliran dana” dari pihak sekolah ke pejabat-pejabat pendidikan itu?
Semoga tudingan itu keliru. Namun, jika benar maka teramat wajar jika banyak koruptor di negeri ini, lantaran dari sejak bangku sekolah tabiat korupsi itu sudah diperlihatkan kepada para siswa.
pembangunan sebesar Rp 6,2 juta pada tahun 2007. Masih di wilayah Jakarta Timur, tepatnya di sebuah SMAN di bilangan Pondok Bambu, pihak sekolah bersiap-siap mematok pungutan sebesar Rp 10 juta hingga Rp 15 juta bagi siswa barunya.
Aliran Dana
Hingga kini, pihak sekolah memang belum secara terang-terangan mematok besarnya pungutan kepada siswa barunya. Namun, seperti diungkap Ade Irawan dari Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), pungutan secara terang-terangan baru akan dipatok pihak sekolah ketika proses belajar-mengajar berlangsung satu bulan, yakni pada Bulan Agustus atau September 2008.
“Pada saat itu hanya ada dua pilihan bagi orang tua siswa: mau bayar sesuai dengan keinginan pihak sekolah atau anaknya harus angkat kaki dari sekolah,” ungkapnya.
Jika ini yang terjadi maka apa gunanya Bantuan Operasiona Sekolah (BOS) dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) yang didengung-dengungkan pemerintah sebagai upaya membantu biaya pendidikan di sekolah-sekolah negeri.
Ataukah munculnya pungutan-pungutan yang ditarik pihak sekolah mengatasnamakan musyawarah mufakat Komite Sekolah ini sengaja dibiarkan pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang pendidikan, lantaran adanya “aliran dana” dari pihak sekolah ke pejabat-pejabat pendidikan itu?
Semoga tudingan itu keliru. Namun, jika benar maka teramat wajar jika banyak koruptor di negeri ini, lantaran dari sejak bangku sekolah tabiat korupsi itu sudah diperlihatkan kepada para siswa.
lalu yang pantas kita pertanyakan sekarang!!!!
Seperti apa yang diharapkan oleh pemerintah saat ini mengenai pendidikan gratis namun pada kenyataannya masih ditemukan praktek pemungutan biaya terhadap siswa baru
Bagaimana menyingkapi hal tersebut?
Saat ini pemerintah mengeluarkan 20 % dari APBN untuk pendidikan Dasar dan Menengah ke mana alokasi dana ( BOS ) dan Bantuan operasiaonal sekolah ( BOP ) itu sendiri?
Siapa yang harus bertanggung jawab dengan adanya pemungutan ini?
Apa masih dirasa perlu pemungutan biaya bagi para pelajar/siswa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar